BUPATI CIREBON

BUPATI CIREBON
Drs.H.DEDI SUPARDI,MM

"selamat datang"

welcome120.gife-mail:zeen_paska05@yahoo.co.id
blog:http//www.paskibraka2005.blogspot.com

"WAJAH KITA DI CIPTAKAN MENGHADAP KE DEPAN DAN KALAU HARUS MENOLEH HANYA SAMPAI SEBATAS BAHU.SEAKAN-AKAN MEMBERIKAN MAKNA AGAR KITA MELAYANGKAN PANDANGAN KE DEPAN.BAHKAN JAUH KEMASA YANG AKAN DATANG."



"PROKLAMASI"

Peristiwa Rengasdengklok & Rumah Bersejarah Babah Djiaw yang Terlupakan

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l. Adam Malik dan Chaerul Saleh) dari Menteng 31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong.

Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur.

Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya "diambil") dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor Laut Dr. Kandeler.




naskah dibuat
di Rengasdengklok

Di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jl Imam Bonjol , Jakarta Pusat. Naskah proklamasi dirumuskan dan diketik oleh Sayuti Melik

Hasil naskah dibacakan di Pegangsaan timur no.56

Latar belakang
Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.

Para Pemuda Pejuang di Rengasdengklok
Beberapa orang pemuda yang terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok ini antara lain:

  1. Soekarni
  2. Jusuf Kunto
  3. Chaerul Saleh
  4. Shodancho Singgih, perwira PETA dari Daidan I Jakarta sebagai pimpinan rombongan penculikan.
  5. Shodancho Sulaiman
  6. Chudancho Dr. Soetjipto
  7. Chudancho Subeno sebagai pemimpin Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi). Chudan Rengasdengklok memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan 1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpimpin Shodancho Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan.
    Honbu (staf) yang dipimpin oleh Budancho Martono.
Babah Djiaw Ki Siong di Dusun Bojong Kec. Rengasdengklok Kab. Karawang

Tempat Penulisan Naskah Proklamasi : Rumah Bersejarah Babah Djiaw
SEJAK Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1495, rumah alm. Babah Djiaw Ki Siong di Dusun Bojong Kec. Rengasdengklok Kab. Karawang diabadikan sebagai rumah bersejarah. Rumah seorang petani keturunan Tionghoa di pinggir Sungai Citarum itu pernah dipakai tempat tinggal para "Bapak Bangsa" dalam menyusun naskah proklamasi, sebelum naskah itu dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta.

Karena dinobatkan sebagai rumah bersejarah, seluruh bangunan rumah yang berdinding kayu jati, beratap genting tua, dan beralaskan batu bata itu dan sampai sekarang masih ditempati anak cucu Djiaw Ki Siong sebagai pemiliknya, tak boleh diperbaiki apalagi diubah seenaknya. Pelarangan itu muncul karena kekhawatiran nilai keaslian rumah itu punah.

Anehnya, dari dulu hingga sekarang, pemerintah hanya cukup memberikan nama rumah bersejarah yang harus dilestarikan. Di luar itu sama sekali tak pernah ada perhatian bagi si pemiliknya. Sementara itu, kondisi rumah kian tua dan terancam mengalami kerusakan. Andai rumah itu ambruk, bagaimana nasib keluarga yang sekarang menempati rumah itu?

Ketika Babah Djiaw Ki Siong masih hidup, sejumlah perkakas rumah yang dulu pernah dipakai Bung Karno sekeluarga, Bung Hatta, dan tokoh proklamator lainnya diangkut ke museum di Jabar. Sayangnya, Djiaw Ki Siong -- yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani kecil -- tak sepeser pun mendapat ganti rugi saat barang-barang miliknya itu diboyong ke museum.

"Meski demikian kedaannya, keluarga kami tetap bangga rumah ini telah dijadikan simbol rumah bersejarah bagi perjuangan bangsa. Bingungnya, rumah ini sudah lapuk dan sudah mengkhawatirkan bila dipakai tempat tinggal, sulit untuk diperbaiki karena dilarang pemerintah," kata Ny. Iin alias Djiaw Kwin Moy, cucu Djiaw Ki Siong yang sekarang menempati rumah tersebut. Di rumah itu pernah tinggal Bung Karno, Bung Hatta, Sukarni Yusuf Kunto, dr. Sucipto, Ny. Fatmawati, Guntur Soekarnoputra, dan lainnya selama tiga hari, pada 14-16 Agustus 1945.

Pada tahun 1958, rumah bersejarah itu pernah dipindahkan karena tergusur pelebaran pembangunan Sungai Citarum. Sebelum dipindahkan, dua perangkat tempat tidur terbuat dari kayu jati, tempat tidur Bung Karno dan Bung Hatta, seperangkat tempat minum dan seperangkat meja kursi tempat duduk para tokoh proklamator, diambil pihak museum Bandung.

"Engkong (kakek) Djiaw Ki Siong merelakan semua perkakas rumah untuk diabadikan sebagai benda bersejarah. Membangun rumah di tempat baru yang harus dipertahankan keasliannya pun semuanya dibiayai dari hasil jerih payah engkong, tanpa sepeser pun bantuan pemerintah," kata Yayang, suami Ny. Iin. Padahal, engkong hanyalah seorang petani kecil di Rengasdengklok.

Di antara para tokoh nasional yang memberi perhatian besar kepada keluarga Djiaw Ki Siong adalah Mayjen Ibrahim Adjie yang pada saat itu menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi. Pangdam pernah memberi penghargaan kepada Babah Djiaw berupa selembar piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.

Setelah Babah Djiaw meninggal pada tahun 1964 dan beberapa tahun berselang berganti kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, rumah bersejarah diwariskan kepada anak pertama Babah Djiaw, yakni Ny. Tiaw Siong (ibunda Ny. Iin). Sekali lagi, tak ada perhatian apa pun dari pemerintah. Malah, Ny. Tiaw sempat tak dibolehkan menerima tamu siapa pun yang ingin tahu rumah bersejarah itu.

Sekira tahun 1980-an, di Lapangan Rengasdengklok yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari rumah alm. Djiaw, dibangun Tugu Perjuangan dengan biaya besar. Anehnya, pihak pemerintah sama sekali tak melirik keberadaan rumah Djiaw yang kondisinya sudah rusak termakan usia. Padahal, di rumah itu naskah proklamasi disusun sehari sebelum Indonesia merdeka.

"Anehnya lagi, tatkala rumah ini akan direhab karena banyak bagian yang rusak, keluarga kami malah harus lapor kesana-kemari. Akhirnya tak dibolehkan direhab, khawatir bagian rumah bersejarah berubah wujud. Karena dilarang itu ya... sampai sekarang beginilah keadaan rumah kami yang kalau terus-terusan tak dibolehkan direhab bisa-bisa ambruk," kata Ny. Iin. Ia menolak keras rumor bahwa rumahnya itu mendapat aliran sumbangan untuk biaya perawatan.

Babah Djiaw pernah berwasiat, keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggu rumah ini demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.

Karena manutnya akan wasiat engkong Djiaw, Ny. Tiaw yang kesehariannya berjualan kue di Pasar Rengasdengklok terpaksa harus berada di rumah. Begitu juga Ny. Iin yang sudah hampir tiga tahun setelah ibundanya meninggal selalu berada di rumah. Sementara itu, yang berjualan di toko adalah sang suami. Sayang, keluarga Yayang tak bisa berjualan kue di pasar, setelah tahun lalu Pasar Rengasdengklok habis dilalap api.

Berkat kesetiaan Ny. Tiaw dan Ny. Iin, sebagai ahli waris rumah bersejarah, setiap tamu dilayani dengan baik. Mereka pun mampu memberi keterangan sejarah tentang keberadaan rumah miliknya kepada setiap tamu yang datang. Memang, tak dimungkiri, di antara sekian puluh ribu tamu ada saja yang memberi uang alakadarnya.

"Tak apa-apalah rumah bersejarah ini tak diperhatikan siapa pun. Yang penting, kami pemiliknya punya kebanggaan tersendiri ikut menoreh perjuangan bangsa ini," kata Ny. Iin sambil menyatakan bahwa ia dan keluarganya sering bermimpi bertemu Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh yang dulu pernah menginap di rumahnya.

Rumah bersejarah milik alm. Djiaw Ki Siong berada di sebuah perkampungan di lingkungan padat perumahan masyarakat Dusun Bojong. Dari lapangan Tugu Perjuangan ke rumah itu, ada jalan sempit belum beraspal. Bila hujan turun, jalan becek menyulitkan tamu berkunjung ke rumah itu.

Di ruang tamu berukuran 6 x 8 meter terdapat dua buah meja ukir jati. Di atasnya terpampang buku-buku sejarah perjuangan. Ada buku tamu tebal dan sudah penuh diisi tandatangan puluhan ribu tamu. Di dinding tembok kayu terpampang gambar alm. Djiaw Ki Siomg berdampingan dengan gambar Bung Karno terbingkai kaca.

"Di kamar inilah Bung Karno, Ibu Fatmawati dang putra ciliknya Guntur istirahat tidur. Di samping kiri kamar, tempat Bung Hatta dan tiga tokoh proklamator istirahat, sementara bangku dipan ini tempat para ajudan Bung Karno berjaga," kata Yayang sambil menunjuk dua buah kamar yang sudah lama tak pernah dipakai tempat tidur. Sementara itu, tempat istirahat keluarga Yayang berada di belakang ruang tamu yang sekarang sudah direnovasi secara permanen.

Pascareformasi, rumah Djiaw Ki Siong cukup sering dikunjungi para tamu. Sejumlah tokoh nasional seperti Akbar Tanjung, Roy B.B. Janis, Guntur Soekarnoputra, Gempar Soekarnoputra, Harmoko, dan sejumlah tokoh dari fungsionaris PDIP sering datang juga. Adapun Megawati Soekarnoputri baru berjanji saja, karena sampai sekarang belum berkunjung.

Tokoh pejuang yang juga seniman kondang Karawang, R.H. Tjetjep Supriyadi menyesalkan pemerintah yang sama sekali tak memerhatikan rumah sejarah Babah Djiaw Ki Siong. Termasuk juga, para pejuang Rengasdengklok yang dulunya ikut bergerilya, berjuang membela negara.

"Saya malu Tugu Pangkal Perjuangan Rengasdengklok amburadul. Jalan menuju Rengasdengklok rusak berat, apalagi jika melihat kondisi rumah Djiaw Ki Siong yang hampir roboh. Heran saya, kok jadi begini perhatian para pemimpin bangsa," tegas R.H. Tjetjep Supriyadi, yang mengaku ikut berjuang dalam perang gerilya di Rengasdngklok.

Tjejep membeberkan, sebetulnya Hari Proklamasi Kemerdekaan RI rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada Hari Kamis tanggal 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Ki Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah babah itu. Bendera merah putih sudah berani dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.

"Ketika naskah proklamasi mau dibacakan, tiba-tiba pada Kamis sore kedatangan Ahmad Subarjo. Ia mengundang Bung Karno dkk. berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56," kata Tjetjep Supriadi.(H. Undang Sunaryo/MD/Dodo Rihanto/"PR")***


PURNA PASKIBRAKA INDONESIA

PURNA PASKIBRAKA INDONESIA
KABUPATEN CIREBON

Kamis, 28 Mei 2009

SOSOK - ILYAS KARIM

(Sang Pengibar Bendera Pusaka Bercelana Pendek)

Ilyas Karim (Celana Pendek)Bendera Pusaka Sampai menjelang peringatan 63 Tahun Indonesia Merdeka, tak banyak orang tahu siapa sebenarnya pemuda bercelana pendek yang mengibarkan bendera pusaka seusai proklamasi tahun 1945. Dia adalah Ilyas Karim dan masih ada di tengah-tengah kita.

Pagi itu, tanggal 17 Agustus 1945, Ilyas Karim dan teman-temannya dari Angkatan Muda Islam (AMI) sedang berkumpul di markas mereka, Jalan Menteng 31. Seperti biasa, anak-anak muda nasionalis itu selalu serius membicarakan situasi politik terakhir menjelang kemerdekaan Indonesia. Tanpa diundang, tiba-tiba datanglah Latief Hendraningrat, salah satu ChuDancho (komandan) PETA (Pembela Tanah Air) di Jakarta. ”Ayo, kamu semua ikut saya ke Pegangsaan Timur. Di sana mau ada keramaian!” ajaknya. Tanpa banyak komentar, bersama sekitar 50 orang anggota AMI, Ilyas bergegas. Sesampainya di sana, mereka segera bergabung dengan banyak orang yang sudah hadir lebih dulu. Cuaca pagi itu tidak begitu panas dan suasana di rumah besar itu tampak tenang. Daerah sekitar Pegangsaan Timur dijaga ketat oleh anggota PETA. Keluar dari dalam sebuah ruangan, Latief kembali menemui Ilyas. Tanpa basa-basi ia bertanya, ”Kamu bisa mengibarkan bendera nggak?” Ilyas yang saat itu tidak menggunakanalas kaki segera menjawab, ”Bisa Pak!” ”Baik, nanti kamu bertugas mengibarkan bendera bersama Singgih,” perintah Latief. Pada sekitar pukul sepuluh pagi, peristiwa bersejarah itupun terjadi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dilaksanakan. Didampingi Bung Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi yang menandai diumumkannya pernyataan kemerdekaan Indonesia di depan rumah nomor 56 itu. Tak lama setelah itu, Latief Hendraningrat Latief menuju ke pintu rumah Bung Karno. Dari tangan Ibu Fatmawati, Latief menerima sebuah bendera berwarna Merah-Putih. (Bendera yang dijahit sendiri oleh Ibu Fatmawati dari dua carik kain yang diperolehnya dengan susah payah itu kelak disebut sebagai bendera pusaka). Berbalik ke halaman, bendera itu diserahkan Latief kepada Singgih yang memakai seragam PETA (karena ia juga salah seorang ChuDancho) dan Ilyas Karim yang mengenakan celana pendek. Kedua pemuda itu segera menuju tiang bendera. Di depan tiang, Singgih meraih tali dan mengikatkan bendera. Setelah siap, Latief memberi aba-aba penghormatan kepada bendera dan seluruh hadirin memberikan penghormatan. Diiringi paduan suara sebuah sekolah yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, Singgih menarik tali dan mengerek bendera Merah Putih naik perlahan ke puncak tiang. Ilyas memegangi bagian tali yang lain sambil mengulurnya mengikuti tarikan Singgih dan menjaga agar bendera berkibar tidak terjepit. Akhirnya, bendera sampai di puncak tiang. Dan itulah kali pertama bendera Merah Putih berkibar secara resmi sebagai bendera kebangsaan Republik Indonesia.

Ilyas KarimFoto Ilyas mengibarkan bendera kini terabadikan dalam buku-buku sejarah. Tubuh cekingnya tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih, sementara Singgih mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati mendongak ke atas menyaksikan bendera yang mulai naik ke puncak tiang. (Foto itu merupakan satu dari dua foto peristiwa proklamasi yang paling terkenal). Seusai upacara, Bung Karno mengajak hadirin masuk ke ruang tengah rumahnya untuk menyantap makanan ringan. Ilyas bergabung dengan tamu yang lain dan ikut makan kue, termasuk kue bolu yang didatangkan dari Senen. Bung Karno menghampiri Ilyas dan kawan-kawan sembari memberi wejangan. ‘’Kalian para pemuda. Belajarlah yang sungguh-sungguh. Kalau berdagang, berdaganglah yang sungguh – sungguh” ucap sang founding father. Namun, beberapa saat kemudian, ada yang menyuruh agar kue - kue dibawa keluar dan dimakan di halaman. Ternyata, itu hanya cara para pemimpin ”mengusir” hadirin secara halus dari dalam rumah. Bung Karno, Bung Hatta dan para tokoh politik kemudian mengadakan pertemuan di dalam rumah itu. Ilyas sendiri tak tahu apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Bersama teman-temannya ia ikut keluar ke halaman, lalu membubarkan diri setelah semua hadirin pulang. Sesampainya di rumah, Ilyas segera menemui ibunya dan menceritakan kalau tadi ia bertugas mengibarkan bendera Merah Putih di Pegangsaan Timur seusai Bung Karno membacakan naskah Proklamasi. Ibunya sangat gembira dan berkata, ”Syukur Alhamdulillah. Akhirnya kita merdeka juga, ya. Semoga apa yang kamu lakukan tadi dapat ridho dari Allah.”

Itulah sebuah pengalaman yang detilnya begitu lekat di kepala Ilyas Karim, sampai kini usianya mencapai 80 tahun lebih. Perannya sangat besar, walaupun di hari-hari seputar Agustus 1945 itu semuanya seolah ”lenyap” ditelan hingar-bingar suara mengelu-elukan Soekarno-Hatta dan kegembiraan mencapai kemerdekaan. “Saat itu, dari AMI ada 50 pemuda yang ikut ke Pegangsaan Timur 56. Saya juga tidak mengerti, mengapa akhirnya saya yang dipilih oleh Latief untuk ikut mengibarkan bendera. Barangkali, ini hanya keberuntungan saya,” katanya. Pada 17 Agustus 1945 itu, anak-anak muda AMI memang diberi tugas oleh Chaerul Shaleh untuk mengawal prosesi proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur. ChuDancho Singgih, yang saat itu tentara PETA, ditugaskan mengerek bendera. Latief Hendraningrat-lah yang kemudian menugaskan Ilyas membantu Singgih memegangi bendera. Dari 50-an pemuda AMI, kebetulan Ilyas yang paling muda, 18 tahun, dan badannya paling kecil. ‘’Dipikirnya saya yang paling gesit,’’ kata dia sembari terkekeh. Untungnya Ilyas punya pengalaman mengibarkan bendera ketika sekolah tarbiyah di Banten. Bedanya yang ia kibarkan saat itu adalah bendera Belanda. Lagunya pun lagu kebangsaan Belanda. Dipilih mengibarkan bendera saat proklamasi, kontan saja Ilyas merasa bangga Peristiwa itu mahapenting. ‘’Itu adalah titik balik bagi Indonesia dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Dan, saya terlibat dalam peristiwa paling bersejarah itu,’’katanya.
Keberuntungan itu bagi Ilyas merupakan sebuah anugerah yang pantas disyukuri. Namun, bagi pemuda Indonesia, sosok Ilyas Karim yang muncul sebagai salah satu pelaku sejarah kemerdekaan adalah sebuah simbol. Dan bagi Paskibraka, sosok Ilyas bukan saja mewakili pemuda, tapi juga remaja berusia 18 tahun yang kemudian mengilhami gagasan pengibaran bendera pusaka oleh Paskibraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarkan pengalaman anda d paskibraka